C |
iara Murni Anggraini, sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Seorang yang cerewet dan selalu menghibur. Orang yang tak pernah menunjukkan kesedihannya. Kalau di ingat-ingat kembali, persahabatan kami sangat konyol. Kami benar-benar Double Disaster sejati yang sudah dikenal oleh satu sekolah. Semua menjadi kenangan termanis dalam hidupku sebelum kedua orang tua Cia bercerai.
“Ci, kamu yang sabar aja ya. Pasti dibalik keadaan ini, akan menghasilkan hikmah yang bisa kamu petik,” aku memeluk tubuh Cia yang sore itu datang ke rumahku dalam keadaan yang sangat berantakkan. Baru pertama kali selama aku berteman dengan Cia, kulihat Cia begitu lemah dan terpuruk seperti saat ini.
“Sakit, La. Sakit banget. Kenapa aku harus ngalamin kejadian kayak gini?? Ternyata..ternyata aku itu bukan anak kandung papa aku. Mama aku... mama aku,punya suami lain selain papaku yang sekarang. Aku..aku..,” Cia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia tampak rapuh saat itu.
Setelah hampir 15 tahun orangtua Cia berumah tangga, baru diketahui oleh Pak Presmana, Papa Cia, bahwa Cia bukanlah anak kandungnya. Hal itu diketahuinya ketika tanpa sengaja Pak Presmana memergoki Mama Cia yang tengah memberikan uang dalam jumlah besar kepada seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah Papa kandung Cia.
Mama Cia, terhitung sejak 2 tahun lamanya, selalu memberikan uang setiap bulan kepada Papa kandung Cia sebagai uang tutup mulut. Karena sejak 2 tahun lalu, Papa kandung Cia yang selama ini berada di penjara akibat terlilit hutang, telah keluar dari penjara. Papa Cia yang mengetahui kebenaran atas semua kebohongan dan pengkhianatan Mama Cia pun tidak dapat mengontrol amarahnya dan langsung meminta cerai kepada Mama Cia.
“Cia.. Yang sabar ya,”.
Keesokan harinya, aku tidak melihat Cia di sekolah. Begitu pun pada hari berikutnya. Genap 6 hari sudah Cia tidak masuk sekolah. Karena penasaran, aku mendatangi rumah tempat tinggal Cia. Namun, yang kudapat hanyalah berita bahwa Cia dan Mamanya telah diusir oleh Pak Presmana dan pindah ke Surabaya. Dengan gontai, aku melangkahkan kakiku menuju rumah. Berbagai pertanyaan pun menghantui pikiranku.
”Assalamualaikum..,” aku mencium tangan Mama yang saat itu sedang duduk di teras depan rumah kami.
”Wa’alaikumussalam”.
Aku tidak langsung masuk ke rumah seperti biasanya. Aku malah menempelkan pantatku di kursi sebelah kanan Mama. Mama yang sedang menjahit kancing kemeja Papa pun menghentikan aktivitasnya dan menatapku. Sepertinya beliau memperhatikan gerak-gerik serta wajahku yang lesu.
“Kamu kenapa, La? Gak seperti biasanya kamu loyo gitu. Kamu sakit, sayang?” Mama memegang dahiku sambil berkerut. Aku memperhatikan wajah beliau. Tampak raut sedih dan khawatir diwajahnya yang sudah tak muda lagi itu. Sempat terlintas dibenakku. Betapa beryukurnya aku memiliki keluarga yang lengkap dan saling menyayangi antara satu dan lainnya.
”Hhhh... Nggak, Ma. Lala gak sakit kok. Lala cuma lagi banyak pikiran aja, Ma,” ujarku, berusaha menenangkan Mama.
”Kamu ’gak pengen cerita sama Mama? Mama bersedia lho, ngedengerinnya. Siapa tahu aja Mama bisa ngebantu kamu”.
Aku menatap Mama lalu menghela nafas panjang,”Cia, Ma. Dia bikin Lala pusing. Udah hampir seminggu ini dia ’gak pernah masuk sekolah. Terus, pas Lala datangi rumahnya, ternyata dia dan Mamanya udah pindah ke Surabaya. Lala kesel, Ma. Kok dia ’gak cerita-cerita ke Lala sih kalo dia sama Mamanya pindah ke Surabaya?”.
Aku nggak habis pikir, kami sudah berteman begitu lama. Tapi, kenapa dia nggak memberitahukan padaku atas kepindahannya yang mendadak ini?? Seharusnya, dia masih sempat menelefon atau sekedar mengetik sms untuk memberitahukan keadaannya padaku.
Mama mengelus rambut sebahuku dengan sayang. Beliau melepas kacamata yang sedaritadi ia kenakan. Ia menatapku dan tersenyum, lalu ia menggelengkan kepalanya.
”Lala.. Lala. Kamu itu, ya. Memang anak Mama yang baik,” Mama menghentikan ucapannya lalu mencolek hidungku.
”Kamu itu terlalu baik, sayang. Mama tahu, kalian berdua itu bersahabat sangatt baik, sangat dekat. Tetapi, dalam persahabatan itu, tidak semua hal dapat dibagi dan diceritakan. Siapa tahu aja, Cia ’gak ngasih tahu kamu tentang kepindahannya karena dia ’gak kuat ngucapin salam perpisahan sama kamu. Kamu jangan langsung mikir aneh-aneh tentang dia. Jangan marah-marah gitu,” lanjut Mama berusaha menghiburku.
”Hhhhh... Iya juga sih, Ma. Ya udahlah kalo gitu. Lala ke kamar ya, Ma. Lala capek banget nih, mau tidur,” ujarku sambil melepas sepatu converse hitamku. Aku masuk ke dalam rumah sambil menjinjing sepatuku. Sampai dikamar, aku langsung membanting tubuhku di atas kasur empuk milikku, berharap dapat melupakan semua yang terjadi hari ini.
***
3 tahun berlalu. Aku sudah tidak lagi memikirkan masalah tentang Cia. Kabar terakhir yang aku dengar, Cia sudah tidak lagi melanjutkan pendidikannya. Ia membantu Mamanya berjualan kue dari stasiun ke stasiun di Kota Surabaya.
Saat ini, aku tengah melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Airlangga. Kemandirianku membuat kedua orangtuaku menaruh harapan dan kepercayaan besar padaku. Kedua orang tuaku juga membelikan sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya tersebut. Rumahku tidak besar. Rumahku hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, sebuah dapur kecil dan ruangtamu mini.
Di Unair (Universitas Airlangga), aku mengambil jurusan psikiater. Aku mulai menjalani kehidupan baruku sebagai seorang mahasiswi. Hingga suatu hari, kudapati seorang gadis yang tampak kumel berjalan melewati depan rumahku. Gadis itu membuatku yang tengah menyiram tanaman di depan rumah tertegun. Bagai diiris pisau. Entah apa yang kurasakan. CIA!! Gadis itu CIA!! Sahabat yang sudah lama tidak pernah aku temui. Aku melempar selang dengan air yang masih mengalir. Kukejar gadis yang berjalan belum jauh itu.
”CIA!! CIA!!” teriakku. Gadis itu berbalik sekilas, lalu membuang muka padaku. Ia berlari, aku mengejarnya. Terjadilah adu lari antara kami.
”Ci, berhenti!! Aku mau ngomong!! CIA!!!” aku hanya dapat berteriak parau. Orang-orang memandangku heran. Aku menghentikan lariku sambil menatap nanar kepergian Cia.
Beberapa hari kemudian, ketika aku hendak pergi ke supermarket, kudapati sesosok gadis yang tengah menyandarkan dirinya dibalik tembok dekat pagar rumahku. Dengan ragu, kulangkahkan kakiku dan menyentuh pundak gadis itu.
”Cia ..,” gadis yang kuyakini sebagai Cia tersentak dari posisinya.
”La.. Lala..,” terdengar suara parau dari sudut bibir Cia. Tak kuasa aku menahan rindu yang sudah lama tersimpan. Aku menghamburkan lenganku berusaha memeluk Cia. Ya Tuhan, Cia! Cia, sahabatku, berada dihadapanku saat ini.
”Ma..maav, La. Waktu itu aku.. Tadi, bbaru sajaa.. Baru saja aku sudah berniat menemuimu .. Aku .. Aku hampir saja mengetuk pintu rumahmu. Tapi, tapi .. Tapi aku takut, La. Aku, aku takut untuk bertemu denganmu .. Sejak hari pertemuan kita .. Aku .. Aku terus memikirkan untuk bertemu denganmu, La .. Aku ..,” lanjut Cia rancu. Mendengar ucapan Cia yang ingin menemuiku, membuatku tak kuasa menahan air mata yang berada di pelupuk mataku. Cia, sahabat yang telah lama kunanti hadirnya. Kini ada di hadapanku, berbicara padaku.
”Udahlah Ci. Nggak usah diterusin. Aku ngerti kok,” aku merangkul tubuh Cia dan menuntunnya masuk kedalam rumahku.
Kusuguhkan segelas cokelat hangat untuk Cia. Aku menatap sedih keadaan fisik Cia. Keadaannya jauh lebih buruk dibanding terakhir kali aku bertemu dengannya, 3 tahun yang lalu. Baju lengan panjang hitamnya tampak lusuh dan wajahnya tampak kusam. Kami saling diam. Akhirnya, aku berdehem dan tersenyum padanya.
”Ci, lama nggak ketemu ya. Gimana kabar Mama kamu ?? Sekarang kamu dan Mama kamu tinggal dimana ??”
Kuperhatikan, Cia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia memandang langit-langit rumah sambil memainkan rambutnya. Hal yang sering dilakukan Cia jika sedang galau. Haahhh.. Cia. Dia tidak berubah. Dia masih sama seperti Cia yang dulu aku kenal.
”Mama, sudah meninggal setahun yang lalu. Dan rumah kontrak yang kami sewa, telah habis masa berlakunya. Sudah sebulan ini, aku tinggal di emperan toko-toko, La,” tutur Cia.
Aku terenyuh mendengar cerita Cia. Aku menghela nafas dan menyandarkan tubuhku sepenuhnya di atas sofa cokelat empukku. Aku membayangkan Cia yang berada di emperan toko dan diganggu oleh preman-preman pasar.
”Inalillahi wa inailaihi rojiun. Aku turut berduka, Ci. Kamu yang tabah, ya,” ujarku prihatin. Aku mengelus punggung Cia yang rapuh, berusaha memberi semangat. Cia tersenyum hambar kepadaku. Senyum yang kurasa sangat terpaksa.
Dalam hati, aku bersyukur memiliki keluarga yang lengkap. Papa, Mama, dan adikku, Tyas. Akan sulit bagiku seandainya kini aku berada di posisi Cia. Ya Tuhan, Betapa berdosanya diriku yang selama ini selalu menyusahkan kedua orangtuaku yang bergitu menyayangiku.
”Ya udahlah, Ci. Kalau kamu bersedia, kamu bisa kok tinggal di rumahku. Sekalian nemenin aku,” kurasa inilah saatnya aku membangun kembali persahabatanku bersama Cia yang 3 tahun belakangan ini mulai menjauh.
”Ah, jangan, La. Aku gak mau ngerepotin kamu”.
”Ya ampun, Cia. Ngapain sih, pake sungkan gitu? Kita ini tuh kan udah lama bertemen!” ujarku setengah memaksa.
Akhirnya, Cia menerima tawaranku yang lebih tepatnya sebuah pemaksaan. Aku menghubungi kedua orangtuaku dan menjelaskan masalah pindahnya Cia ke rumahku saat ini. Dengan senang hati, kedua orangtuaku merestui tinggalnya Cia di rumahku. Sorenya, aku dan Cia pergi membeli kasur lipat. Dikarenakan keadaan rumahku yang hanya memiliki sebuah kamar tidur dengan satu buah tempat tidur satu badan. Kulihat, raut wajah Cia tampak lebih cerah dibanding tadi pagi saat ia mendatangi rumahku.
”Huahhh.. Capek banget, deh. Oh ya, Ci. Ini, kunci rumah untuk kamu,” aku melemparkan kunci rumah dengan gantungan dolphin ke arah Cia, lalu aku merebahkan diriku di tempat tidur mungilku yang empuk.
Cia menangkap kunci yang kulempar dan memandang bingung ke arahku,”Lho ? Terus kamu, La?”
”Ya ampun. Ciara Murni Anggraini. Ngapain heran gitu sih? Kan itu kunci serepnya. Jadi, aku pegang satu dan kamu pegang satu. Soalnya, aku kan kuliah malam tuh. Siapa tau aja kamu mau keluar, jadi kamu bisa bawa kunci itu untuk jaga-jaga,” jelasku. Cia hanya manggut-manggut mendengar penjelasan yang kututurkan.
Menjelang malam, aku dan Cia mengatur kasur lipat yang kami beli tadi sore di atas lantai, disamping kiri tempat tidurku. Aku menyelimuti kasur itu dengan seprei biru bergambar winnie the pooh kesukaanku. Cia mengomentari kamarku yang bercorak biru disana-sini. Ia juga sempat mengatakan bahwa aku itu tidak berubah! Tetap seorang penggila biru yang sangat fanatik!
”Ci, hari ini aku seneng banget. Akhirnya, aku bisa nemuin kamu lagi. Sahabat terbaikku. Heheheee... Apa kamu juga seneng Ci, setelah bertemu denganku? Hoaaaammhh.. mmmhh.. Aku ngantuk. Met tidur ya, Ci,” aku menyelimuti tubuhku dengan selimut berwarna biru kesukaanku.
”Ia, La. Aku juga senang kok, kembali ketemu sama kamu,” tutur Cia. Dibalik ucapannya, tersirat raut wajah sedih yang tidak terlihat olehku.
***
Tidak terasa sudah hampir sebulan lamanya Cia tinggal bersamaku. Ia memang tidak meneruskan pendidikannya lagi setelah kepindahannya ke Surabaya, seperti kabar terakhir yang kudengar. Setelah ibunya meninggal, ia menyibukkan dirinya dengan bekerja di sebuah cafe yang menuntutnya untuk kerja sampai larut. Aku hanya bertemu dengannya pada pagi hari.
”Ci, aku ke kampus ya. Oh iya, kayaknya nanti aku ’gak pulang deh. Soalnya aku mampir dulu ke rumah temenku, ngerjain tugas. Menurut perkiraanku sih, aku bakal bermalam dirumahnya,” ujarku. Aku mengambil tas sampingku yang berada di atas meja ruang tamu dan berlalu meninggalkan rumah.
Keesokan paginya, aku mendapati rumahku dalam keadaan terkunci. Seperti perhitunganku tadi malam, tugas yang aku dan teman-temanku kerjakan membutuhkan waktu yang lama, sehingga akhirnya aku pun menginap dirumah temanku itu.
Aku membuka pintu rumahku yang terkunci. Saat aku melangkahkan kakiku, kudapati Cia yang tengah meringis kesakitan dilantai. Kulihat ia memegang perutnya dengan erat. ”Astagfirullah al adzim.... Cia ? Kamu kenapa?” aku menatap Cia terkejut.
”La..Lala,” Cia terlihat pucat. Ia menggigil sambil berusaha berdiri.
Aku menghampirinya dan membantunya duduk di atas sofa. Aku mengambil segelas air hangat dan menyerahkannya kepada Cia.
”Kamu, kenapa, Ci? Kamu sakit?” ujarku prihatin.
”Ah, nggak apa-apa, La. Aku sudah biasa kok. Mungkin penyakit maaghku kambuh,” Cia meneguk air yang kuberikan. Ia tampak lebih tenang. Namun, tetap saja akulah orang yang paling cemas dengan kondisinya saat ini.
”Ci, lebam-lebam di pipimu...” aku hendak memegang lebam yang ada di pipi kanan Cia, namun dengan cekatan Cia menepis tanganku.
”Aku capek, La. Kepalaku sakit. Hari ini, biarkan aku tidur seharian ya,” Cia memegang kepalanya sambil sesekali bergumam tak jelas. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar tidur kami.
”Ci, kamu tidur di tempat tidurku, ya,” ujarku setengah berteriak.
Cia membuka pintu kamar dan berbalik ke arahku. Dengan senyum Cia berujar, ”Makasih, ya La.”
Keesokan harinya, kulihat kondisi Cia semakin membaik. Wajahnya sudah kembali cerah. Walau sering kuperhatikan wajahnya tampak murung, seperti sedang memikirkan sesuatu. Malah, kadang saat Cia berada dikamar mandi pun, kudengar dia seperti sedang menangis. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja, aku berusaha menghibur diriku.
Seminggu sejak hari dimana Cia kesakitan, aku kembali menemukan lebam di sudut bibir Cia. Rasa penasaranku yang beberapa hari lalu sudah kulupakan, kini malah semakin menjadi-jadi. Aku pun mulai bertanya pada Cia. Namun dengan berbagai alasan, ia selalu mengalihkan pembicaraan kami. Karena tuntutan sifatku yang memang mudah penasaran, aku terus saja memaksa Cia untuk bercerita padaku.
Akhirnya, Cia pun bersedia bercerita padaku. Dia mulai menceritakan sejak awal dia dan Mamanya memulai kehidupan baru di Kota Surabaya ini. Jatuh bangun, pahit manis nya kehidupan jalanan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Cia dan Mamanya. Sampai suatu hari, Mama Cia mengalami kecelakaan. Karena kurangnya biaya pengobatan, Cia tidak dapat membawa Mamanya untuk berobat. Akhirnya Mama Cia pun meninggal. Sebelum meninggal, Mama Cia berpesan agar Cia mencari Papa kandungnya dan tinggal bersamanya.
Selama ini Cia sudah berusaha mencari tahu keberadaan Papanya. Sebelum Mamanya meninggal, Mamanya sempat memberikan alamat rumah Papa kandung Cia. Namun saat Cia mendatangi rumah Papanya, hanya rumah tak berpenghuni saja yang ia lihat. Dan kemarin, saat aku menginap di rumah temanku, Cia tak sengaja melihat Papanya di kafe tempatnya bekerja. Cia mengajak Papanya bicara, namun hanya perlakuan kasar dan makian yang ia dapatkan. Papanya sempat memukulinya saat Cia menahan lengan Papanya yang hendak pergi melarikan diri dari hadapan Cia.
”Aku bener-bener ’gak ngerti, La. Kenapa Papa kandungku sendiri tidak mau mengakuiku sebagai anaknya? Kenapa ia malah kabur dariku? Aku tidak minta apa-apa, La. Aku hanya ingin mendapatkan sedikit kasih sayang dari Papa kandungku. Sedikit, La. Sediikiiitttt sajaa,” Cia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang rapuh. Ia sesenggukan menahan derasnya air mata yang selama ini berusaha ia tahan saat berada di dekatku.
”Cia.. Maafkan aku. Maaf kalo selama ini aku gak bisa bantu kamu. Kalo aja aku tahu, Ci,” aku memeluk tubuh Cia. Hari itu menjadi hari panjang untuk kami. Kami menangis bersama. Menumpahkan segala bentuk amarah kami dalam luapan air mata. Kebodohanku yang tidak peka akan masalah yang tengah dihadapi sahabatku. Kemarahan Cia yang tidak diakui oleh Papa kandungnya sendiri. Akhirnya kami pun tertidur.
***
”Oh ya, Ci. Nama Papa kandungmu siapa, sih? Biar aku gampang nyarinya,” tanyaku sambil mengusapkan bedak di wajah. Hari ini kami berniat mencari Papa kandung Cia.
”Eh, kamu gak tahu ya? Astaga, aku pikir aku udah ngasih tahu kamu! Hehehee.. Maaf ya, La. Hmm.. Nama Papaku Subrata,” sahut Cia.
”Yee, dasar pikun! Hmm.. Subrata ya... Eh, udah siap belum? Mending kita buruan, deh. Kayaknya entar sore bakal hujan nih,” Aku mengambil tas yang berada di kamarku dan berjalan keluar rumah. Langit terlihat mendung, aku mengambil payung yang berada di rak sepatu, di depan rumahku.
Cia menutup pintu rumah dan menyusulku. Kami menelusuri tempat yang biasa Papa Cia kunjungi. Namun tak ada yang kami dapatkan. Tak terasa, hari mulai petang. Hujan mulai turun membasahi tanah air. Aku membuka payung yang kubawa dari rumah. Aku dan Cia berjalan mencari tempat teduh. Kami berhenti di depan cafe dan masuk ke dalamnya. Kami memesan segelas cokelat hangat untukku dan segelas capuccino hangat untuk Cia. Cia menghela nafas panjang, ia tampak lelah, sama sepertiku. Ia terlihat tengah memikul beban pikiran yang sangat berat. Kami saling diam. Aku menikmati minumanku dan menatap jalan diluar cafe. Orang-orang berlalu lalang, berlari mencari tempat untuk berteduh. Tanpa sengaja, aku melihat seorang pria yang kurasa usianya tak jauh bedah dengan Papaku. Ia keluar dari sebuah Motel dengan tergesa-gesa hingga ia menabrak seorang remaja yang kira-kira seusiaku. Remaja cewek yang tengah membawa belanjaan cukup banyak terjatuh bersama barang bawaannya.
”Ah, kasihan gadis itu,” aku spontan mengucap prihatin pada gadis yang terjatuh tadi.
”Kenapa, La?” Cia terkejut dengan refleksku dan ikut menatap keluar mencari objek yang tengah kulihat.
”Itu, gadis yang sedang terjatuh di seberang jalan itu lho, Ci,” aku menunjuk ke arah tempat terjatuhnya gadis yang kulihat.
”Oh, yang itu,” Cia menyipitkan matanya berusaha melihat gadis dan pria yang tertutup hujan dan lalu lalang kendaraan. Tiba-tiba wajah Cia menegang. Ia beranjak berdiri dari duduknya. Kursi yang didudukinya hampir saja jatuh kebelakang. Ia berlari menuju pria yang tadi menabrak seorang gadis. Aku meninggalkan uang di atas meja dan berlari menyusul Cia. Firasatku mengatakan bahwa pria itu adalah Pak Subrata, Papa Cia !
”CIA!” aku mengejar Cia yang sudah menyebrangi jalan dan menuju tempat pria tersebut.
”PAPA. Tunggu, Pa,” samar-samar aku mendengar Cia yang setengah berteriak kepada pria tersebut. Kulihat Cia tengah menahan lengan papanya, pria itu berusaha menepis pegangan Cia. Ia mendorong Cia hingga jatuh terjerembap. Aku berhasil menyebrang dan menyusul Cia. Aku membantu Cia berdiri. Kulihat pria itu tampak bingung, terlihat dari matanya ia tampak bersalah sudah mendorong Cia. Orang-orang mulai memperhatikan kami.
”Pa, Cia mohon. Cia hanya ingin bicara sebentar dengan Papa,” Cia memelas menahan tangis yang sepertinya akan meledak. Pria itu mengacuhkan Cia dan berlari menembus keramaian orang-orang yang tengah mengerubungi kami.
”Cia...,” Cia memelukku dan seketika tangisnya pun meledak. Aku menuntun Cia pergi dari kerumunan orang-orang yang menonton kami. Aku menyetop taksi dan mengajaknya pulang. Sesampainya kami dirumah, Cia menangis tidak henti-hentinya. Hatiku miris melihat Cia yang meraung-raung memanggil nama Papanya.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tidak mengikuti kuliah hari ini. Aku membiarkan Cia yang saat ini tengah tidur, karena letih akibat peristiwa kemarin. Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi mencari Papa Cia. Aku pergi ke Motel yang kemarin Pak Subrata datangi. Aku mendatangi resepsionis yang berada di Motel itu. Aku menanyakan tentang Pak Subrata kepadanya. Ternyata, Pak Subrata bekerja di Motel itu sebagai cleaning service. Akhirnya aku mendapatkan alamat tempat Pak Subrata, Papa Cia, tinggal. Aku pulang ke rumah dan mengabarkan berita bagus itu kepada Cia. Tampak wajah Cia yang cerah dengan tangis haru bahagia. Ia memelukku dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih padaku.
Sorenya, aku dan Cia menuju ke rumah Pak Subrata. Kami mengetuk pintu rumah dengan harap cemas. Saat pintu terbuka, terlihat wajah Pak Subrata yang memucat dan menegang.
”Pa....”.
”Kamu lagi ?! Mau apa kamu kesini?” pria itu berujar sinis kepada Cia.
”Oom, sebaiknya kita bicarakan masalah ini didalam saja,” aku berusaha memecah ketegangan diantara kami semua.
Ia mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya berada dikawasan kumuh. Bangunan rumah Pak Subrata sangat tidak layak untuk ditinggali. Bahkan aku berfikir, jika ada angin kencang, pasti atap-atap rumah ini akan ikut terbang oleh angin-angin yang beriup.
”Apa yang kamu inginkan dari saya? Saya sudah capek memberi penjelasan kepada kamu. Tidak cukupkah penderitaan yang mamamu beri kepada saya? Apakah dia tidak pernah menjelaskan kepada kamu tentang apa yang sudah dia lakukan kepada saya?” Pak Subrata tampak menggebu-gebu menjelaskan kepada Cia.
”Pa, denger Cia dulu. Ma.. Mama.. Mama sudah meninggal, Pa. Mama juga meminta maaf sama Papa. Mama sangat menyesal, Pa. Mama sangat menyesal sudah meninggalkan Papa saat Papa masuk ke dalam penjara akibat hutang-hutang yang disebabkan Mama. Mama juga merasa bersalah sudah dibutakan oleh uang dan kekayaan Pak Presmana. Semua itu Mama lakukan hanya demi Cia, Pa. Supaya Cia bisa hidup enak di bawah kekayaan Pak Presmana. Semua ini adalah salah Cia. Kalo aja Cia gak ada, mungkin Mama dan Papa bisa hidup bahagia saat ini,” Cia membenamkan wajahnya dikedua telapak tangannya yang mungil. Aku mengelus punggung Cia. Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Aku terlalu terkejut mendengar kisah Cia yang baru saja aku dengar.
Pak Subrata menarik nafas panjang. Ia tampak terlihat letih diusianya yang mungkin sekitar 50 tahunan. Ia menatap Cia. Aku yakin, tatapan itu adalah tatapan sayang seorang ayah kepada anaknya.
”Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini,” Ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu keluar untuk kami.
Aku melihat Cia yang menengadahkan mukanya, memandang tidak percaya kepada papanya. Papa yang tidak pernah mau mengakuinya sebagai anaknya.
”Sebegitu jijiknya kah Papa sama aku? Pa, aku adalah darah daging papa. Selamanya aku adalah anak Papa. Terserah Papa mau atau tidak mengakuiku sebagai anak. Semoga papa tidak menyesal dengan keputusan Papa,” Cia menarikku dengan gusar. Membawaku keluar dari rumah Pak Subrata. Aku berbalik menatap Pak Subrata. Terlihat ia sangat menyesal telah menyuruh Cia pergi.
Aku dan Cia tiba di rumah dalam diam. Tidak ada yang berani membuka mulut. Cia tampak masih terguncang akibat percakapan tadi. Tiba-tiba Cia meringis sambil memegang perutnya. Wajahnya pusat pasi.
”Cia.. kamu kenapa?”
”Ah, gak apa kok, La. Aku udah biasa kayak gini. Mungkin maagku kambuh lagi. Sepertinya aku harus berbaring,” Cia berusaha berjalan menuju kamar tidur. Aku menuntunnya dan membaringkannya tidur di atas tempat tidurku.
”Maaf ya, La. Lagi-lagi aku ngerepotin kamu,” Cia bergumam sambil menutup kedua matanya. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Cia.
Malamnya, aku terbangun mendengar Jeritan Cia. Ia meronta-ronta kesakitan. Wajahnya terlihat memucat. Ia meremas perutnya sambil menangis menahan sakit. Mulutnya penuh dengan sumbalan seprai. Aku menatap Cia bingung. Dengan panik aku segera menelepon ambulans. Aku menangis ketakutan melihat keadaan Cia.
Sesampainya di rumah sakit, Cia segera diperiksa oleh Dokter. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa Cia terkena maag akut. Maag yang diderita Cia sudah mencapai masa kritis dan Dokter memutuskan untuk segera mengoperasi Cia besok siang. Dengan sigap aku menelefon kedua orangtuaku. Mama menyetujui operasi untuk Cia. Mama, Papa dan Tyas, adikku akan tiba besok pagi untuk mengunjungiku dan Cia.
Keesokan harinya, aku segera mencari taksi dan menuju ke rumah Pak Subrata. Aku mengabarkan kondisi Cia yang sedang kritis. Pak Subrata kaget dan segera ikut denganku menuju ke rumah sakit. Terlihat raut gelisah diwajah Pak Subrata. Ia terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Cia.
Sesampainya di rumah sakit, Pak Subrata langsung menuju ke kamar tempat Cia dirawat. Di kamar tersebut, sudah berdiri kedua orang tuaku serta adikku. Cia masih tertidur akibat obat yang dokter berikan kepadanya. Aku mengajak kedua orangtuaku dan adikku untuk keluar dan memberikan waktu untuk Pak Subrata dan Cia.
”Cia, anakku,” Pak Subrata mengelus pipi Cia. Beliau berlutut disamping tempat tidur. Ia menggenggam jemari mungil Cia.
”Pa...paa,” Cia berusaha sekuat tenaga memanggil papanya.
”Iya, nak. Ini papa. Papa kandungmu. Maafkan Papa, sayang,” Pak Subrata berusaha menahan air matanya yang hendak tumpah.
”Maafin Cia, Pa”.
”Tidak sayang, kamu tidak salah. Papa yang salah. Papa minta maaf. Papa janji akan menebus semua kesalahan papa. Kita akan mengulang semuanya dari awal. Papa janji, sayang”, ujar Pak Subrata sembari mencium kening Cia dengan lembut. Cia tersenyum hangat. Senyum yang tidak dipaksakan. Senyum yang tulus dan penuh bahagia. Senyum termanis untuk ayahnya.
”Cia seneng, Pa. Cia ngerasa bahagia dengan adanya papa di sisi Cia saat ini. Cia sudah lega, Pa. Terima kasih udah mau mengakui Cia. Walau cuma satu menit, Cia udah ngerasa cukup. Cia sayang sama Papa,” Cia berujar lirih. Air matanya yang sudah membendung tak dapat terelakkan.
”Jangan bicara seperti itu, sayang. Kamu pasti sembuh, nak. Papa sayang sama kamu,” Pak Subrata merengkuh tubuh Cia yang lemah masuk kedalam pelukannya. Pelukan hangat seorang ayah untuk anaknya. Mereka menangis dalam diam.
Dokter yang memeriksa Cia tiba-tiba masuk dan mengatakan akan segera mengoperasi Cia. Pak Subrata menyingkir dan membiarkan Dokter bersama suster-susternya menyeret tempat tidur Cia menuju ruang operasi. Aku, Mama, Papa, Tyas, dan Pak Subrata hanya dapat menunggu dan berharap keselamatan untuk Cia.
”Lala, terima kasih karena selama ini kamu sudah mau menjaga Cia. Memberikan tempat tinggal untuknya. Maafkan saya jika selama ini saya sudah kasar sama kamu, nak,” Pak Subrata berujar lirih.
Aku yang sedari tadi tidur di bahu Mama terkejut,”Ah, ia om. Tidak apa. Saya mengerti. Saya tahu, sebenarnya om sama sekali tidak bermaksud kasar dan kejam terhadap Cia. Saya tahu betul kalo om adalah ayah yang baik”.
Pak Subrata menatap langit-langit rumah sakit. Beliau terlihat berusaha tegar. Papa yang mendengar percakapan kami segera meredakan suasana tegang. Ia mengajak Pak Subrata ke kantin rumah sakit untuk membeli minuman.
Sekembalinya Papa dan Pak Subrata, Dokter yang mengoperasi Cia mengabarkan bahwa kondisi Cia sudah tidak bisa diselamatkan. Dia juga sudah mengatakan telah berusaha semampunya. Pak Subrata histeris dan memukuli tembok yang berada di dekatnya. Papa menghentikan aksi Pak Subrata. Aku menangis pilu dalam pelukan Mama. Tyas adikku, yang usianya 10 tahun pun ikut memelukku. Kami semua hanya dapat menangisi kepergian Cia.
***
Hari ini adalah hari pemakaman Cia. Gerimis kecil mengiringi pemakamannya. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mataku di hari pemakaman Cia. Aku ingat, Cia pernah berkata padaku,”La, kamu tahu gak? Saat Mamaku dulu meninggal, aku sama sekali tidak menangis di depan jenazahnya. Sebab, kata Mamaku, tiap tetes air mata orang-orang yang menangisinya adalah kesedihannya. Jadi, agar mama tidak sedih, aku selalu berusaha tegar. Hingga saat ini, setiap mengingat mama, aku sama sekali tidak pernah menangis. Karena aku ingin, supaya Mama aku tetap bahagia di atas sana karena melihat kalo aku juga bahagia,”.
”Cia, kamu lihat ? Aku dan papamu sama sekali tidak menangis. Karena kami sayang sama kamu. Kami semua la, sangat menyayangi kamu,” aku menaruh bunga terakhir di atas makam Cia. Pak Subrata menahan derai air matanya dan mengangkat tubuhku berdiri. Aku, Pak Subrata dan keluargaku berjalan meninggalkan makam Cia.
Cia mengajarkanku banyak hal. Bagaimana sulitnya mencari kasih sayang dari sebuah keluarga yang utuh. Kasih sayang seorang Papa, kasih sayang seorang Mama. Cia mengajarkanku untuk tidak menyerah akan kerasnya hidup. Dia selalu berusaha tegar meski banyak masalah yang dia hadapi. Aku bersyukur pernah memiliki sahabat seperti Cia. Aku sudah merasa puas bisa membahagiakan Cia sebelum detik-detik terakhir hidupnya di dunia. Aku masih bisa mengingat senyum bahagia Cia saat ia bertemu dengan ayahnya. Walau hanya semenit.